Kamis, 28 Mei 2015

Saya siap di dua lima tahun

DUA RIBU LIMA BELAS IS COMING...

Jauh sebelum mengenal Kamu, jauh sebelum Saya tahu, bahwa Kamu melengkapi Saya.


"Mah, Aku nikah nanti diumur 25 yaa Mahh.. sama siapa aja, yang penting Aku udah umur 25. Boleh yaa Maaahhh" 
"Sekolah dulu, ayok berangkat, sebentar lagi masuk, sekolahnya kan ngga dianter Papah, ngomongin nikahnya nanti aja pas umur Kamu sudah 25" 

Pagi itu pembicaraan sebelum Saya berangkat sekolah dasar kelas 2. Pembicaraan yang mungkin menurut beliau hanya obrolan biasa saja. Hanya pelengkap Kami saat sarapan. Tapi percayakah kalian? itu terekam dibawah alam sadar Saya. Saya berani membicarakan pernikahan disaat umur Saya genap 25 tahun. Keyakinan Saya kuat setelah mengabiskan malam terakhir umur 24 tahun. Sebelumnya, Saya hanya senyum-senyum kecil mendengar pertanyaan beberapa kerabat saudara tentang pernikahan, bahkan cenderung menghindar pertanyaan yang menyungging kearah sana. Ntah memang ada pengaruhnya atau memang Saya benar-benar belum siap.

Mei 2015, 2 bulan setelah Saya genap 25 tahun. Saya persilakan laki-laki yang saya jaga perasaan dan kehormatannya setelah papah untuk berbicara berdua, Empat mata. Keinginan untuk berbicara langsung yang sempat Saya cegah. Bukan karena Saya masih ingin main-main, namun Saya memang belum siap saat itu. Keberanian Dia diterima dengan baik, dan menitipkan satu pesan "menikah sekali, jaga baik-baik anak papah, bimbing Resti ya Rief". 

Semoga pertemuan keluarga awal Juni nanti bisa berjalan lancar dengan semestinya. 
Terima kasih Semesta.


Saya tahu Tuhan sedang bergembira, menepukan tangannya setahun lalu hingga Kita bertemu. 
Kami menunggu tepukan TanganMu lagi, awal tahun depan..

Rabu, 27 Mei 2015

Mini orgasme seorang Arief Budiman

Arief Budiman.

Laki-laki biasa saja, jauh dari kata sempurna. Cenderung dominan dan ingin sekali didengar.
Laki-laki biasa saja. Dia bukan laki-laki dari yang dilimpahi kemewahan dan bukan pula dihimpit kesusahan.
iya, Dia biasa-biasa saja.

Mencari yang lebih darinya bukan pekerjaan sulit.
Tetapi untuk mencari yang membuat nyaman lebih darinya, itu pekerjaan lain.

Setelah dengan Dia, Saya sadar bahwa konsep tentang jodoh akan berubah pada waktunya. Bukan melulu tentang pertemuan untuk pergi kesebuah mall dan menghabiskan hari libur di luar rumah seharian. Sebuah keberanian membicarakan soal masa depan dan membiarkan Dia meminta Saya di depan Orang tua Saya. Konsep jodoh tidak serumit itu ternyata.

Sebelum dengan Dia, Saya membiarkan beberapa laki-laki hadir dan singgah di dalam hati Saya yang hancur, dan membiarkan mereka pergi jika tidak betah berdiam lama di sana. Silih berganti setiap tahun, bahkan hitungan bulan. Saat itu, yang Saya fikirkan adalah, yang penting ketika Saya ingin kesuatu tempat, ada temannya.

Berdasarkan pengalaman tersebut, Saya menarik garis tegas apa yang membuat Saya berhenti mencari, dan siap membicarakan tentang masa depan.

Ternyata yang selama ini hilang adalah kebutuhan untuk berfikir tentang hal-hal yang baru, membicarakan apapun bahkan tentang masa lampau dan masa depan. Mampu mematahkan apa yang Saya mau bukan yang Saya butuh, mampu membelokan pemikiran salah yang cenderung membuat Saya jauh lebih pesimis. Dia mampu membuat Saya berfikir dari dua posisi yang berlawanan. Sebuah mini orgasme yang selama ini hilang ketika Saya bersama yang lain. Sebuah pilihan ketika Saya tak mau lagi mencari selain Dia. Semudah itu, sesederhana itu.

Seseorang yang mampu membuat Saya ingin segera bertemu lagi dan lagi thanya untuk membicarakan hal-hal yang kadang tidak penting untuk orang lain. Menertawakan kesulitan Kami dan menyadarkan Saya bahwa hidup sebenarnya mudah. Pikiran manusia yang membuatnya rumit. Seseorang yang kehadirannya membangkitkan hasrat saya berbicara dan berfikir lebih dari sebelumnya, dibanding berpelukan dan berciuman mesra bertukar air liur.

Seorang laki-laki yang Saya jaga kehormatannya setelah Papah.

dengan cinta,
Resti Kristina.